8.30.2008

Utada Hikaru

Hikaru Utada (宇多田ヒカル Hikaru Utada, umumnya disebut Utada Hikaru dan sering dipanggil Hikki oleh para penggemarnya; lahir 19 Januari 1983 di New York City), adalah penyanyi Jepang yang terkenal. Lagu-lagunya telah berkali-kali menduduki peringkat pertama dalam tangga lagu Oricon. Ia dikenal luas di negara lain berkat single "First Love". Mantan suaminya, Iwashita Kazuhiro (yang lebih dikenal dengan nama Kazuaki Kiriya) adalah seorang sutradara. Menguasai alat musik gitar dan piano, Utada telah merilis empat album dalam bahasa Jepang. Pada tahun 2005 dia mencoba karir international dengan sebuah album berbahasa Inggris berjudul Exodus di bawah nama "UTADA".

Biografi

Utada Hikaru adalah salah satu bintang terbesar di Jepang dan saat ini sudah menjual lebih dari 40 juta keping CD. Ia juga dikenal publik sebagai musisi yang dapat berbicara dalam dua bahasa dengan lancar karena ia dibesarkan di dua negara, Jepang dan Amerika Serikat. Utada Hikaru juga dikenal oleh publik Amerika dengan nama 'Utada'. Utada menyanyikan lagu tema untuk video game berjudul Kingdom Hearts dan Kingdom Hearts II. Pada awalnya, Utada menganut aliran musik R&B dengan beat-beat yang rendah, namun sekarang musiknya lebih mengarah ke aliran pop eksperimental. Pada tahun 2002, Utada menikah dengan seorang sutradara merangkap fotografer bernama Kiriya Kazuaki (nama asli: Iwashita Kazuhiro) yang berusia 15 tahun lebih tua dari Utada namun mereka bercerai pada Maret 2007 setelah 4 tahun lebih hidup bersama. Tercatat baru-baru ini bahwa Utada Hikaru telah menjual 24 juta keping CD album, 16,7 juta keping CD single, dan 2,67 juta unit DVD/VHS.

Sumber : Wikipedia


Ayumi Hamasaki

Ayumi Hamasaki (浜崎 あゆみ Hamasaki Ayumi) atau dikenal sebagai "ayu" oleh fansnya adalah seorang penyanyi wanita paling terkenal di Jepang. Ayu dijuluki sebagai "ratu pop Jepang" karena kesuksesannya. Sejak debutnya di tahun 1998 dengan single pertamanya "poker face", sampai saat ini ia telah menjual lebih dari 50 juta kopi album dan single hanya di Jepang saja, belum terhitung di banyak negara lainnya. Ia telah merilis 8 album studio, 40 single, satu mini album, 4 album kompilasi dalam naungan perusahaan rekaman Avex Trax yang telah menghasilkan banyak hits serta menduduki puncak - puncak tangga lagu di Jepang. Ia adalah artis solo dan artis wanita tersukses sekaligus artis kedua tersukses dalam sejarah industri musik Jepang sampai saat ini. Dengan single ke-40nya, "Blue Bird", ia telah memecahkan rekor melampaui angka penjualan single yang mencapai 20 juta kopi.


Dengan perilisan singlenya yang ke 39, "Startin' / Born To Be..." di tahun 2006, Ayumi telah menjadi artis wanita pertama yang mempunyai 27 single yang duduk di nomor 1 tangga lagu Jepang yang terkenal Oricon.

Ayumi juga telah mendapat penghargaan Grand Prix Japan Record Taishou, semacam Grammmy Award Jepang 3 kali berturut-turut. Tapi pada tahun 2004 ia menolak penghargaan untuk singlenya "Inspire", dikarenakan adanya konflik dalam Avex antara Max Matsuura dengan Tatsumi Yoda. Setelah itu ayu juga kerap kali menolak penghargaan yang ditujukan untuk dirinya dikarenakan ayu ingin memberikan kesempatan bagi penyanyi-penyanyi muda lainnya.

Tahun 2007 ayu mengeluarkan album kompilasi A BEST 2 dalam 2 versi yaitu BLACK dan WHITE. penjualan kedua album di minggu pertama menembus angka 945.000 kopi. dan dengan keluarnya album A BEST 2 ini, ayumi menjadi artis kedua yang memecahkan rekor penjualan 2 album yang dikeluarkan bersama dan menduduki urutan 1 & 2 setelah 37 tahun tidak ada yang mampu membuat rekor tersebut.

Sumber : wikipedia


Kabuki

Kabuki (歌舞伎) adalah seni teater tradisional khas Jepang. Aktor kabuki terkenal dengan kostum mewah dan tata rias wajah yang mencolok.

Kementerian Pendidikan Jepang menetapkan kabuki sebagai warisan agung budaya nonbendawi. UNESCO juga telah menetapkan kabuki sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia.



Etimologi

Kabuki berasal dari kata Kabuku (カブく atau 傾く "miring"). Dalam bahasa Jepang, pakaian yang tidak umum dan tarian yang kelihatan aneh atau tidak lazim disebut "kabuki". Orang yang bertingkah laku aneh disebut "kabukimono". Latar belakang penamaan kabuki juga berhubungan dengan berbagai trik panggung (dalam bahasa Jepang disebut kérén) yang merupakan keindahan tersendiri dalam kabuki. Penonton takjub melihat adegan yang tidak mungkin terjadi di dunia nyata, misalnya aktor kabuki yang bisa menghilang atau muncul dalam sekejap sebagai hasil dari trik panggung.

Penulisan "kabuki" (歌舞伎) dengan aksara kanji adalah cara penulisan ateji untuk "utai" (歌い menyanyi), "mai" (舞い menari), dan "ki" (伎 dari kata 技芸、芸人 gigei, geinin, seni atau seniman). Semuanya merupakan aksara kanji yang dipilih untuk menggambarkan pertunjukan kabuki. Pada awal perkembangan kabuki, aksara kanji yang dipakai untuk menulis "ki" adalah bukan ( "seniman") melainkan ( gi, yang berarti wanita penghibur). Kedua cara penulisan masih digunakan hingga zaman Edo, sedangkan penyeragaman penulisan seperti sekarang baru dilakukan sejak zaman Meiji.

Sejarah

Sejarah kabuki dimulai tahun 1603 dengan pertunjukan dramatari yang dibawakan wanita bernama Okuni di kuil Kitano Temmangu, Kyoto. Kemungkinan besar Okuni adalah seorang miko asal kuil Izumo Taisha, tapi mungkin juga seorang kawaramono (sebutan menghina buat orang kasta rendah yang tinggal di tepi sungai). Identitas Okuni yang benar tidak dapat diketahui secara pasti. Tari yang dibawakan Okuni diiringi dengan la

gu yang sedang populer. Okuni juga berpakaian mencolok seperti laki-laki dan bertingkah laku tidak wajar seperti orang aneh ("kabukimono"), sehingga lahir suatu bentuk kesenian garda depan (avant garde). Panggung yang dipakai waktu itu adalah panggung Noh. Hanamichi (honhanamichi yang ada di sisi kiri penonton dan karihanamichi yang ada di sisi kanan penonton) di gedung teater Kabuki-za kemungkinan merupakan perkembangan dari Hashigakari (jalan keluar-masuk aktor Noh yang ada di panggung sisi kiri penonton).

Kesenian garda depan yang dibawakan Okuni mendadak sangat populer, sehingga bermunculan banyak sekali kelompok pertunjukan kabuki imitasi. Pertunjukan kabuki yang digelar sekelompok wanita penghibur disebut Onna-kabuki (kabuki wanita), sedangkan kabuki yang dibawakan remaja laki-laki disebut Wakashu-kabuki (kabuki remaja laki-laki). Keshogunan Tokugawa menilai pertunjukan kabuki yang dilakukan kelompok wanita penghibur sudah melanggar batas moral, sehingga di tahun 1629 kabuki wanita penghibur dilarang dipentaskan. Pertunjukan kabuki laki-laki daun muda juga dilarang pada tahun 1652 karena merupakan bentuk pelacuran terselubung. Pertunjukan Yarō kabuki (野郎歌舞伎 kabuki pria) yang dibawakan seluruhnya oleh pria dewasa diciptakan sebagai reaksi atas dilarangnya Onna-kabuki dan Wakashu-kabuki. Aktor kabuki yang seluruhnya terdiri dari pria dewasa yang juga memainkan peran sebagai wanita melahirkan "konsep baru" dalam dunia estetika. Kesenian Yarō kabuki terus berkembang di zaman Edo dan berlanjut hingga sekarang.

Dalam perkembangannya, kabuki digolongkan menjadi Kabuki-odori (kabuki tarian) dan Kabuki-geki (kabuki sandiwara). Kabuki-odori dipertunjukkan dari masa kabuki masih dibawakan Okuni hingga di masa kepopuleran Wakashu-kabuki, remaja laki-laki menari diiringi lagu yang sedang populer dan konon ada yang disertai dengan akrobat. Selain itu, Kabuki-odori juga bisa berarti pertunjukan yang lebih banyak tarian dan lagu dibandingkan dengan porsi drama yang ditampilkan.

Kabuki-geki merupakan pertunjukan sandiwara yang ditujukan untuk penduduk kota di zaman Edo dan berintikan sandiwara dan tari. Peraturan yang dikeluarkan Keshogunan Edo mewajibkan kelompok kabuki untuk "habis-habisan meniru kyōgen" merupakan salah satu

sebab kabuki berubah menjadi pertunjukan sandiwara. Alasannya kabuki yang menampilkan tari sebagai atraksi utama merupakan pelacuran terselubung dan pemerintah harus menjaga moral rakyat. Tema pertunjukan kabuki-geki bisa berupa tokoh sejarah, cerita kehidupan sehari-hari atau kisah peristiwa kejahatan, sehingga kabuki jenis ini juga dikenal sebagai Kabuki kyogen. Kelompok kabuki melakukan apa saja demi memuaskan minat rakyat yang haus hiburan. Kepopuleran kabuki menyebabkan kelompok kabuki bisa memiliki gedung teater khusus kabuki seperti Kabuki-za. Pertunjukan kabuki di gedung khusus memungkinkan pementasan berbagai cerita yang dulunya tidak mungkin dipentaskan.

Di gedung kabuki, cerita yang memerlukan penjelasan tentang berjalannya waktu ditandai dengan pergeseran layar sewaktu terjadi pergantian adegan. Selain itu, di gedung kabuki bisa dibangun bagian panggung bernama hanamichi yang berada melewati di sisi kiri deretan kursi penonton. Hanamichi dilewati aktor kabuki sewaktu muncul dan keluar dari panggung, sehingga dapat menampilan dimensi kedalaman. Kabuki juga berkembang sebagai pertunjukan tiga dimensi dengan berbagai teknik, seperti teknik Séri (bagian panggung yang bisa naik-turun yang memungkinkan aktor muncul perlahan-lahan dari bawah panggung), dan Chūzuri (teknik menggantung aktor dari langit-langit atas panggung untuk menambah dimensi pergerakan ke atas dan ke bawah seperti adegan hantu terbang).

Sampai pertengahan zaman Edo, Kabuki-kyogen kreasi baru banyak diciptakan di daerah Kamigata. Kabuki-kyogen banyak mengambil unsur cerita Ningyo Jōruri yang khas daerah Kamigata. Penulis kabuki asal Edo tidak cuma diam melihat perkembangan pesat kabuki di Kamigata. Tsuruya Namboku banyak menghasilkan banyak karya kreasi baru sekitar zaman zaman Bunka hingga zaman Bunsei. Penulis sandiwara kabuki Kawatake Mokuami juga baru menghasilkan karya-karya barunya di akhir zaman Edo hingga awal zaman Meiji. Sebagai hasilnya, Edo makin berperan sebagai kota budaya dibandingkan Kamigata mulai paruh kedua zaman Edo. Di zaman Edo, Kabuki-kyogen juga disebut sebagai sandiwara (shibai).

Unsur teatrikal Kabuki-kyōgen

Secara garis besar ada 2 jenis pertunjukan Kabuki-kyogen dari semua karya yang dihasilkan di zaman Edo dan sekarang masih dipentaskan. Kelompok pertama Kabuki-kyogen disebut Maruhon mono yang mengadaptasi sebagian besar cerita dari cerita Ningyo Jōruri (Bunraku). Kelompok kedua disebut Kabuki kreasi baru. Kabuki Maruhon mono juga dikenal sebagai Gidayu-kyōgen, tapi Gidayu-kyōgen tidak selalu sama dengan Maruhon mono. Pada Gidayu-kyōgen, aktor kabuki membawakan dialog sementara dari atas mawaributai (panggung yang bisa berputar, dari arah penonton terletak di sisi kanan panggung) penyanyi yang disebut Tayu bernyanyi sambil diiringi pemain shamisen yang memainkan musik Gidayu-bushi. Pada Ningyo Jōruri yang semua penjelasan cerita dan dialog dinyanyikan oleh Tayu. Pada kabuki kreasi baru, musik pengiring dimainkan dari Geza (tempat atau ruang untuk pemusik yang dari arah penonton terletak di sisi kiri panggung).

Cerita kabuki yang berasal dari didramatisasi kisah sejarah disebut Jidaimono. Cerita kabuki dengan kisah berlatar belakang kehidupan masyarakat disebut Sewamono. Selain itu, penulis cerita kabuki juga senang menggunakan istilah sekai (dunia) sebagai kerangka dasar cerita, misalnya karya kabuki berjudul Taiheiki no sekai (太平記の世界 Dunia Taiheiki), Heike monogatari no sekai (平家物語の世界 Dunia Kisah klan Heike), Sogamono no sekai (曾我物の世界 Dunia Sogamono), atau Sumidagawamono no sekai (隅田川物の世界 Dunia Sumidagawamono). Penonton biasanya sudah tahu jalan cerita dan akrab dengan tokoh-tokoh yang tampil dalam cerita. Penonton hanya ingin menikmati jalan cerita seperti yang dikisahkan penulis cerita kabuki.

Di zaman Edo, pementasan Kabuki-kyogen perlu mendapat izin dari instansi yang berwenang. Keshogunan Edo biasanya mengizinkan sebagian besar pementasan yang diadakan sejak matahari terbit hingga sebelum matahari terbenam asalkan materi pementasan tidak melanggar peraturan yang sudah ditetapkan. Pementasan yang dilakukan malam hari sesudah matahari terbenam tidak diizinkan. Alasannya pertunjukan kabuki banyak diminati orang dan pemerintah kuatir kerumunan orang dapat melakukan kegiatan melawan pemerintah. Pertunjukan kabuki pada masa itu memerlukan waktu istirahat yang lama, antara lain untuk mengganti set panggung. Bagi penonton yang datang menyaksikan kabuki, menonton kabuki perlu sehari penuh dan merupakan satu-satunya kegiatan yang bisa dilakukan pada hari itu.

Sebagian penonton menyukai Jidaimono sedangkan sebagian lagi menyukai Sewamono, sehingga kabuki dalam pementasannya dituntut untuk bisa memuaskan selera semua kalangan penonton. Dalam usaha memuaskan selera penonton, pada pementasan kabuki sering dipertunjukkan dua cerita sekaligus, Jidaimono dan Sewamono yang dipisahkan dengan waktu istirahat. Pementasan dengan jalan cerita yang campur aduk juga tidak sedikit asalkan penonton senang. Ada juga pementasan yang bagaikan bunga rampai dari berbagai cerita dan hanya mengambil bagian-bagian cerita yang disukai penonton saja. Pertunjukan seperti ini disebut Midori-kyōgen (konon berasal dari kata Yoridori midori yang dalam bahasa Jepang berarti serbaneka atau aneka ragam). Sebaliknya kyogen yang mementaskan keseluruhan cerita secara lengkap disebut Tōshi-kyōgen.

Musik kabuki

Musik pengiring kabuki dibagi berdasarkan arah sumber suara. Musik yang dimainkan di sisi kanan panggung dari arah penonton disebut Gidayūbushi. Takemoto (Chobo) adalah sebutan untuk Gidayūbushi khusus untuk kabuki. Selain itu, musik yang dimainkan di sisi kiri panggung dari arah penonton disebut Geza ongaku, sedangkan musik yang dimainkan di atas panggung disebut Debayashi.

Judul

Judul pertunjukan kabuki disebut Gedai (外題) yang kemungkinan besar berasal dari kata Geidai (芸題 nama pertunjukan). Judul pertunjukan (gedai) biasanya ditulis dalam aksara kanji berjumlah ganjil, misalnya pertunjukan berjudul (娘道成寺 Musume dōjōji) (4 aksara kanji) harus ditambah dengan (京鹿子 Kyōkanoko) (3 aksara kanji) menjadi 京鹿子娘道成寺 (Kyōkanoko musume dōjōji), supaya bisa menjadi judul yang terdiri dari 7 aksara kanji. Selain judul pertunjukan yang resmi, pertunjukan kabuki sering memiliki judul alias dan keduanya dianggap sebagai judul yang resmi. Pertunjukan berjudul resmi Miyakodori nagare no siranami (都鳥廓白波) dikenal dengan judul lain Shinobu no Sōda (忍ぶの惣太). Pertunjukan berjudul Hachiman matsuri yomiya no nigiwai (八幡祭小望月賑) juga dikenal sebagai Chijimiya Shinsuke (縮屋新助). Judul pertunjukan yang harus ditulis dalam aksara kanji berjumlah ganjil menyebabkan judul sering ditulis dengan cara penulisan ateji, akibatnya orang sering mendapat kesulitan membaca judul pertunjukan kabuki.

Istilah bahasa Jepang asal kabuki

Beberapa di antara istilah kabuki diserap ke dalam perbendaharaan kata bahasa Jepang, misalnya:

  • Sashigane
Di atas panggung bila perlu adegan yang melibatkan aktor kabuki mengejar kupu-kupu atau burung, pembantu yang disebut Kōken (asisten di panggung yang sering berpakaian hitam) memegangi tongkat panjang yang diujungnya terdapat kupu-kupu atau burung yang disebut Sashigane. Dalam bahasa Jepang, istilah "sashigane" digunakan dalam konotasi negatif "orang yang mengendalikan".
  • Kuromaku
Di panggung pertunjukan kabuki, malam dinyatakan dengan tirai (maku) berwarna hitam (kuro). Dalam bahasa Jepang, dalam istilah "sekai no kuromaku" (dunia tirai hitam) kata "kuro" (hitam) berubah arti menjadi "jahat". Dalam bahasa Jepang "kuromaku" berarti "dalang" seperti dalam arti "dalang kejahatan".

Sejarah kabuki sejak zaman Meiji

Kepopuleran kabuki tetap tidak tergoyahkan sejak zaman Meiji, tapi sering menerima kritik. Di antaranya kalangan intelektual menganggap isi cerita kabuki tidak sesuai untuk dipertunjukkan di negara orang beradab. Kalangan di dalam dan luar lingkungan kabuki juga menuntut pembaruan di dalam kabuki, sehingga mau tidak mau dunia showbiz kabuki harus diubah sesuai tuntutan zaman. Kritik terhadap kabuki mengatakan banyak unsur dalam kabuki yang sebenarnya tidak pantas dimasukkan ke dalam drama kabuki, misalnya: alur cerita yang tidak masuk akal, tema cerita yang kuno atau berbau feodal, dan trik panggung yang sekadar untuk membuat penonton takjub, seperti adegan aktor bisa "terbang" atau berganti kostum dalam sekejap.

Akibat kritik yang diterima, dunia showbiz kabuki sejak zaman Meiji berusaha mengadakan gerakan pembaruan dalam berbagai aspek teater kabuki. Gerakan pembaruan yang disebut Engeki Kairyō Undō juga melibatkan pemerintah Meiji yang memang bermaksud mengontrol pertunjukan kabuki. Pemerintah Meiji bercita-cita menciptakan pertunjukan teater yang pantas dan bisa dinikmati kalangan menengah dan kalangan atas suatu "masyarakat yang bermoral". Salah satu hasil gerakan pembaruan kabuki adalah dibukanya gedung Kabuki-za sebagai tempat pementasan kabuki. Selain itu, pembaruan juga melahirkan genre baru teater kabuki yang disebut Shimpa.

Karya kabuki yang diciptakan di tengah gerakan pembaruan disebut Shin-kabuki, dengan karya-karya baru banyak bermunculan hingga di awal zaman Showa. Penggemar kabuki biasanya tidak menyukai sebagian besar karya kabuki yang mendapat pengaruh gerakan pembaruan dan dipentaskan sebagai Shin-kabuki. Penggemar Shin-kabuki cuma penulis terkenal seperti Tsubouchi Shoyo, Osanai Kaoru, dan Okamoto Kido yang begita suka hingga menulis naskah baru untuk kabuki. Sampai sekarang, karya-karya yang tergolong ke dalam Shin-kabuki yang tidak disukai penggemar hampir tidak pernah dipentaskan.

Setelah Perang Dunia II, orang Jepang akhirnya mulai menyadari pentingnya bentuk kesenian kabuki yang asli. Di tahun 1965, pemerintah Jepang menunjuk kabuki sebagai warisan agung budaya nonbendawi dan pemerintah membangun Teater Nasional Jepang di Tokyo yang di antaranya digunakan untuk pentas kabuki.

Selain itu, Ichikawa Ennosuke III berusaha menghidupkan kembali naskah-naskah kabuki lama yang sudah jarang dipentaskan. Naskah kabuki yang jarang dipentaskan dan dihidupkan kembali oleh Ichikawa Ennosuke III dikenal sebagai Fukkatsu-kyōgen (kyogen yang dihidupkan kembali). Kabuki yang dipentaskan Ichikawa Ennosuke III disebut Supa-kabuki (kabuki super), karena Ennosuke mencoba teknik pementasan lebih berani dengan menghidupkan kembali trik panggung (kérén) yang dulunya pernah dianggap selera rendah oleh banyak orang. Belakangan ini, pertunjukan kabuki juga sering menampilkan dramawan dan sutradara teater di luar lingkungan kabuki sebagai sutradara tamu.

Pementasan kabuki di zaman sekarang sudah sangat berbeda dengan pementasan kabuki di zaman Edo. Kelompok kabuki berusaha memodernisasi pertunjukan sekaligus memelihara tradisi pementasan. Kabuki sekarang sudah dianggap sebagai seni pertunjukan tradisional yang sesuai dengan kemajuan zaman.

Asosiasi

Organisasi Pelestarian Kabuki Tradisional (Dentō Kabuki Hōzonkai) beranggotakan tokoh-tokoh dari dari dunia kabuki. Pemerintah Jepang menunjuk organisasi sebagai pelestari warisan agung budaya nonbendawi kabuki sejak tahun 1965. Pada bulan Januari 2006, organisasi beranggotakan 169 orang.

Sumber : Wikipedia

Yakiniku

Yakiniku (焼肉 daging panggang) adalah istilah bahasa Jepang untuk daging yang dipanggang atau dibakar di atas api. Dalam arti luas, yakiniku juga mencakup berbagai masakan daging sapi, babi, atau jeroan yang dipanggang, seperti bistik, panggang daging domba (Jingisukan), dan barbeque.


Daging dipanggang di atas api dari arang atau gas dengan memakai kisi-kisi dari besi atau di atas plat dari besi (teppan). Potongan daging berbentuk segi empat sering ditusuk dengan tusukan dari logam sebelum dipanggang. Sayur-sayuran seperti paprika, bawang bombay sering ikut dipanggang bersama daging. Di rumah makan yakiniku, sesudah dipanggang, daging yang berukuran agak besar sering perlu dipotong dengan gunting di hadapan pengunjung.

Yakiniku sering dikatakan berasal dari makanan Korea seperti bulgogi dan kalbi, dan yakiniku sering disebut BBQ ala Korea. Walaupun demikian, yakiniku di Jepang sering berbeda dengan panggang daging ala Korea antara lain dalam hal saus untuk merendam daging. Kemungkinan besar masakan yakiniku berasal panggang potongan jeroan yang disebut Horumonyaki. Horumonyaki diciptakan oleh imigran Korea di daerah Kansai seusai Perang Dunia II[2]. Istilah "horumon" dalam "horumonyaki" berasal dari dialek Kansai "horumon" (benda buangan) yang digunakan untuk menyebut jeroan. Perbedaan yakiniku dengan bulgogi atau kalbi telah menjadi sangat kabur, karena keduanya juga disebut "yakiniku" di Jepang.

Di rumah makan yakiniku, pengunjung memilih sendiri daging mentah yang diingini, satu per satu menurut jenis atau satu set daging di dalam piring. Pengunjung rumah makan dipersilakan memanggang sendiri daging tersebut. Alat pemanggang daging ada di meja pengunjung, dan bisa berupa alat pemanggang daging dengan sumber api gas atau arang. Sebelum dimakan, daging dicelup ke dalam saus yang disebut tare. Saus ini dibuat dari campuran bahan-bahan seperti kecap asin, sake, gula, bawang putih, dan wijen. Selain itu, yakiniku sering dinikmati dengan garam, merica, dan air perasan jeruk lemon. Yakiniku dimakan dengan nasi putih, sedangkan makanan khas Korea seperti kimchi, nameul, bibimbap sering dihidangkan sebagai makanan tambahan.

Bagian daging

Istilah bahasa Jepang yang sering digunakan untuk menyebut bagian-bagian daging:

  • Daging sapi
    • Rōsu - daging bagian perut yang berlemak
    • Karubi (kalbi) - daging iga tanpa tulang. Bila disajikan dengan tulang disebut hone-tsuki-karubi (kalbi dengan tulang).
  • Horumon - jeroan sapi atau babi
    • Harami - daging lunak dinding dalam perut
    • Reba - hati
    • Tan - lidah sapi
    • Tetchan atau horumon (bahasa Korea: dae-chang) - usus
    • Hatsu - jantung
    • Mino atau hachinosu - babat
  • Daging ayam atau domba
  • Makanan laut (cumi-cumi)
  • Sayuran - paprika, bawang putih, wortel, jamur shiitake, bawang bombay, dan labu parang
Sumber : Wikipedia

8.29.2008

Onigiri


Onigiri (おにぎり, 御握り) adalah nama Jepang untuk makanan berupa nasi yang dipadatkan sewaktu masih hangat sehingga berbentuk segi tiga, bulat, atau seperti karung beras. Dikenal juga dengan nama lain Omusubi, istilah yang kabarnya dulu digunakan kalangan wanita di istana kaisar untuk menyebut Onigiri. Onigiri dimakan dengan tangan, tidak memakai sumpit.


Di Indonesia, Onigiri bisa dijumpai di bagian makanan Jepang toko swalayan terkemuka dan di restoran yang menyediakan makanan Jepang. Di negeri Tiongkok, Onigiri dikenal dengan nama fàntuán(飯糰).

Cara membentuk nasi

Nasi yang digunakan untuk membuat Onigiri sebaiknya beras yang memiliki kadar kanji tinggi seperti beras jenis Japonica sedangkan beras yang dimakan di negara-negara Asia Tenggara adalah beras jenis Indica. Nasi yang ditanak dari beras Japonica mudah melekat satu sama lainnya sehingga mudah dibentuk menjadi Onigiri.

Sebelum membuat Onigiri, kedua belah tangan harus dibasahkan dengan air matang agar nasi tidak melekat di tangan. Onigiri dibentuk oleh kedua telapak tangan yang diberi garam dapur, sedangkan garam yang menempel di permukaan telapak tangan diratakan penyebarannya dengan gerakan seperti mencuci tangan.

Onigiri jenis paling sederhana biasanya berisi daging ikan salmon panggang atau Umeboshi yang berada di tengah-tengah nasi. Selain itu, Onigiri ada yang dipanggang setelah sebelumnya dilumuri kecap asin atau miso.

Di Jepang, Onigiri merupakan bekal makan siang sewaktu piknik atau dimakan di perjalanan. Nasi pada Obento (kotak makan siang khas Jepang) sering berupa Onigiri. Walaupun banyak sekali orang Jepang yang membeli Onigiri produksi pabrik yang dijual di toko swalayan yang buka 24 jam, Onigiri merupakan makanan yang dibuat sendiri di rumah yang cara pembuatannya diwariskan secara turun temurun.

Sejarah Onigiri

Pada tahun 1987 ditemukan gumpalan butiran nasi yang terkarbonisasi peninggalan zaman Yayoi dari penggalian arkeologi yang dilakukan di Prefektur Ishikawa. Dari nasi berbentuk Onigiri yang sudah terkarbonisasi tersebut ditemukan sisa bekas ditekan-tekan jari tangan manusia. Selain itu, nasi yang dibentuk mirip Onigiri juga ditemukan di situs penggalian Prefektur Kanagawa

Jenis-jenis Onigiri

Di Jepang terdapat beratus-ratus jenis Onigiri dengan isi yang bervariasi tergantung selera orang yang membuatnya. Nori sering digunakan untuk membungkus agar lebih mudah dimakan tanpa ada nasi yang menempel di tangan, walaupun berbagai jenis Onigiri tanpa Nori juga sering dijumpai.

Sumber : Wikipedia

Sushi

Sushi (鮨, 鮓, atau biasanya すし, 寿司, Sushi?) adalah makanan Jepang yang terdiri dari nasi yang dibentuk bersama lauk (neta) berupa makanan laut , daging, sayuran mentah atau sudah dimasak. Nasi sushi mempunyai rasa asam yang lembut karena dibumbui campuran cuka beras, garam, dan gula.


Asal-usul kata sushi adalah kata sifat untuk rasa asam yang ditulis dengan huruf kanji (酸し, sushi?). Pada awalnya, sushi yang ditulis dengan huruf kanji 鮓 merupakan istilah untuk salah satu jenis pengawetan ikan disebut (魚醤, gyoshō?) yang membaluri ikan dengan garam dapur, bubuk ragi (麹, koji?) atau ampas sake (糟, kasu?). Penulisan sushi menggunakan huruf kanji 寿司 yang dimulai pada zaman Edo periode pertengahan merupakan cara penulisan ateji (menulis dengan huruf kanji yang lain karena huruf kanji tersebut mempunyai bunyi yang sama).

Jenis-jenis sushi

Sushi pada umumnya digolongkan berdasarkan bentuk nasi, antara lain Nigirizushi, Oshizushi, Chirashizushi, Inarizushi, dan Narezushi.

Nigirizushi

Makanan laut segar (pada umumnya mentah) diletakkan di atas nasi yang dibentuk dengan menaruh nasi di telapak tangan yang satu dan membentuknya dengan jari-jari tangan yang lain. Nori sering dipakai untuk mengikat neta agar tidak terlepas dari nasi. Lauk yang diletakkan di atas sushi juga bisa dalam keadaan matang seperti Tamagoyaki atau belut Unagi dan belut Anago yang sudah dipanggang.

Pada mulanya, Edozushi adalah sebutan untuk sushi yang menggunakan hasil laut Teluk Tokyo, tapi sekarang sering digunakan untuk menyebut Nigirizushi.

Di Hokkaido yang terkenal dengan hasil laut, istilah Namazushi (生寿司 secara harafiah: sushi mentah) dipakai untuk membeda

kan sushi dengan neta mentah dari Hokkaido dengan sushi dari daerah lain yang sering merebus lebih dulu neta seperti udang yang mudah kehilangan kesegarannya.

Neta nigirizushi

  • Ikan: Aji (ikan selar), Iwashi (ikan lemuru), Kajikimaguro (ikan Marlin), Katsuo (ikan cakalang), Karei (ikan lidah atau ikan sebelah mata kanan), Sake (ikan Salmon), Saba (ikan kembung), Sanma (ikan Saury), Suzuki (ikan Kerapu), ikan Kakap, Hamachi (ikan Sunglir, nama juga tergantung usia ikan, bisa juga disebut Buri atau Kanpachi), ikan Hiramasa, Hirame (ikan sebelah), Toro (daging perut yang berlemak dari ikan Tuna atau Tongkol), Mekajiki (ikan Todak), ikan Ainame.
  • Kerang: Aoyagi (Bakagai), Akagai, Hotategai (tir am), Hokkigai (Ubagai), Mirugai (Mirukui), Ts ubu.
  • Belut: Anago, Unagi
  • Udang: Amaebi, Blacktiger, Kuruma ebi, Ise ebi (lobster), Botan ebi, Hokkaishima ebi (Hokkai ebi)
  • Kepiting (Rajungan): Zuwaigani, Tarabagani
  • Telur ikan: Ikura, Tobiko
  • Cumi-cumi, Uni (Bulu babi), dan Gurita
  • Aburage, Kanikamaboko (daging kepiting tiruan dari daging ikan), Kampyo (serutan labu yang dikeringkan), Ketimun, Dashimaki, Natto (kedelai fermentasi), Neri ume (saus buah plum), Negitoro (cacahan daging ikan tuna dengan daun bawang), Tsukemono (sayur-sayuran hasil fermentasi).

Sushi yang dijual di Kaitenzushi mempunyai banyak variasi neta yang bukan asli Jepang, seperti Miniburg (daging yang merupakan isi hamburger), berbagai macam jenis daging seperti charsiu, ikan tuna dalam kaleng dan buah Alpukat.

Cara makan

  • Nigirizushi dinikmati dengan mencelup sedikit bagian neta ke dalam kecap asin.
  • Nigirizushi umumnya dimakan dengan tangan, walaupun boleh-boleh saja dimakan menggunakan sumpit.
  • Nigirizushi biasanya dimakan dengan sekali suap.

Teknik mengepal nasi

Ada beberapa teknik mengepal nasi yang merupakan seni keterampilan yang harus dikuasai ahli sushi (寿司職人 (sushi shokunin):

  • Tegaeshi:
    • Hon tegaeshi
    • Ko tegaeshi
    • Tate gaeshi
    • Yoko tegaeshi
  • Oyayubi nigiri

Berdasarkan kekuatan tangan sewaktu mengepal, bentuk nasi bisa berupa bentuk silinder (tawaragata), kotak persegi empat (hakogata), dan kapal (funegata).

Di restoran Kaitenzushi, nasi yang sudah dibumbui dibentuk secara otomatis menggunakan mesin sushi, bahkan ada nasi bentukan mesin yang sudah diberi wasabi atau diikat dengan nori. Mesin pembuat sushi ada juga yang terlihat seperti tempat nasi tradisional dari kayu agar penikmat sushi mendapat kesan seolah-olah makan sushi yang dikepal oleh ahli sushi sungguhan.

Ahli sushi

Ahli sushi (寿司職人 sushi shokunin) adalah sebutan hormat untuk orang yang membuat sushi di restoran sushi tradisional. Di Jepang, ahli sushi merupakan profesi terhormat dengan penghasilan tinggi.

Ahli sushi pada umumnya adalah pria sedangkan wanita hampir tidak pernah diberi kesempatan. Di banyak restoran sushi, jenis kelamin laki-laki adalahsyarat utama yang tidak tertulis untuk menjadi ahli sushi. Ada pendapat yang mengatakan tradisi ini berasal dari tradisi kuno Jepang yang menempatkan laki-laki pada kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan, tapi alasan yang masuk akal adalah suhu tubuh pria yang pada umumnya lebih rendah dari suhu tubuh wanita. Perubahan fisiologis setiap bulan yang dialami wanita menyebabkan wanita tidak sesuai untuk memegang makanan laut mentah yang rasa dan warnanya mudah dipengaruhi suhu tubuh orang yang memegang.

Ahli sushi wanita umumnya tidak disukai pengunjung restoran sushi di Jepang. Selain itu, pertimbangan higienis yang tidak jelas asal-usulnya menjadikan ahli sushi tetap merupakan didominasi pria. Walaupun demikian, monopoli pria sebagai ahli sushi mulai terancam dengan banyaknya Kaitenzushi yang mempekerjakan ahli sushi wanita yang dilarang keras menggunakan kosmetik yang mengandung parfum dan mencat kuku.

Menurut cerita yang suka dibesar-besarkan, syarat bagi ahli sushi untuk bisa mandiri adalah pengalaman magang paling sedikit 10 tahun, mencakup pelajaran mengepal (nigiri) 3 tahun dan pelajaran menggulung (maki) 8 tahun. Persyaratan formal untuk menjadi ahli sushi sebenarnya tidak ada, sebagian besar karier ahli sushi justru dimulai sebagai buruh yang dibayar per jam. Keterampilan memilih ikan segar di pasar memang memerlukan pengalaman selama bertahun-tahun, tapi keterampilan mengepal nasi sudah dikuasai oleh robot pembuat sushi.

Cara menghitung Nigirizushi

Dalam bahasa Jepang, Nigirizushi tidak dihitung bukan berdasarkan jumlah kepal (buah), melainkan jumlah porsi yang disebut kan (貫, かん) dengan berat 1 kan sekitar 40-50 gram (kira-kira sama dengan 2 buah sushi). Nigirizushi 1 kan berarti satu porsi (1 piring) nigirizushi yang terdiri dari 2 buah sushi, sedangkan 1/2 kan berarti 1 buah sushi, walaupun bisa saja 1 kan terdiri dari 1 buah sushi kalau neta besar dan mahal.

Cara menghitung Inarizushi juga sama seperti menghitung Nigirizushi, 2 buah Inarizushi sebagai 1 kan (1 porsi) walaupun ada tempat juga yang menghitung per buah.

Istilah khusus

Restoran sushi atau sushi bar di Jepang mempunyai istilah-istilah khusus yang memiliki arti lain dalam bahasa Jepang standar.

  • Agari (teh hijau)
  • Otesho (kecap asin) atau disebut Tamari di daerah Kansai
  • Kappa (ketimun)
  • Gari (asinan jahe)
  • Gyoku (Tamagoyaki atau Dashimaki)
  • Kusa (Nori)
  • Gunkan (sushi yang dikelilingi oleh nori)
  • Shari (nasi untuk sushi)
  • Tsume atau Nitsume (saus kental rasa manis-asin yang dioleskan pada belut Anago, kerang Hamaguri atau neta sejenis yang rasanya agak hambar)
  • Toro (bagian perut ikan tuna), dibagi-bagi lagi menurut jumlah lemak yang terkandung: ootoro dan chutoro
  • Namida atau Sabi (wasabi)
  • Haran atau Baran (daun berwarna hijau penghias sushi, sekarang banyak dipakai daun plastik)
  • Murasaki (kecap asin)

Makizushi

Sushi berupa gulungan nasi berisi potongan ketimun, Tamagoyaki dan neta lain yang yang dibungkus lembaran nori. Nasi digulung dengan bantuan Sudare (anyaman bambu bentuk persegi panjang).

Makizushi dibagi menjadi:

  • Hosomaki: gulungan berdiameter minimum 3 cm. hanya berisi satu jenis neta (misalnya ketimun atau tuna).
  • Futomaki: gulungan berdiameter di atas 5 cm. berisi berbagai macam neta.
  • Temakizushi: nasi digulung sendiri dengan nori sebelum dim akan, neta juga dipilih sendiri dari piring.

Di daerah Kansai terdapat tradisi Ehomaki untuk mengundang keberuntungan pada Hari Ekuinoks Musim Semi. Satu gulung utuh Futomakizushi harus dimakan sambil menghadap ke arah mata angin keberuntungan tanpa mengeluarkan suara apalagi berbicara. Pada mulanya tradisi ini merupakan bagian dari promosi makan sushi di tahun 1970-an.

Chirashizushi

Nasi sushi dimakan bersama neta berupa makanan laut dan sayur-sayuran yang dipotong kecil-kecil. Nasi sushi tidak dibentuk melainkan diisikan

ke dalam wadah sushi dari kayu, piring atau mangkok. Chirashizushi merupakan salah satu masakan rumah yang populer di Jepang untuk memperingati hari-hari istimewa seperti ulang tahun anak-anak dan perayaan Hina Matsuri.

Di daerah-daerah lain di Jepang, Chirashizuhi mempunyai banyak nama lain seperti Suzushi di prefektur Kagoshima, Matsurizushi di prefektur Okayama, Tekonezushi (di prefektur Mie), bahkan ada daerah-daerah tertentu yang menghias Chirashizushi dengan buah-buahan seperti potongan apel, jeruk, dan buah Cherry.

Oshizushi

Nasi disusun bersama neta yang dipres untuk sementara waktu dengan maksud memadatkan nasi agar sushi yang dihasilkan berbentuk persegi panjang yang lalu dipotong-potong agar mudah dinikmati. Oshizushi ada juga yang dibungkus daun bambu lalu dipres untuk sementara waktu, antara beberapa jam sampai satu malam. Nama-nama Oshizushi yang populer antara lain:

  • Sabazushi berisi ikan kembung yang mempunyai beberapa nama lain seperti Battera di prefektur Osaka atau Bozushi di Kyoto
  • Masuzushi di prefektur Toyama
  • Oshizushi ikan Funa dari prefektur Mie
  • Sanmazushi dan Gozaemonzushi dari prefektur Tottori
  • Iwakunizush i dari prefektur Yamaguchi

Narezushi

Sushi yang sudah dikenal sejak zaman kuno, ikan dilumuri garam dan nasi lalu dibiarkan hingga terfermentasi. Funazushi dari prefektur Shiga dan Hatahatazushi dari prefektur Akita adalah contoh sushi model ini. Ada juga Narezushi yang ditambah ragi untuk membantu proses fermentasi, contohnya Kaburazushi dari prefektur Ishikawa dan Izushi dari Hokkaido.

Kaburazushi adala

h contoh sushi yang tidak dibentuk bersama nasi. Sushi dibuat dengan menjepit irisan ikan mentah di antara dua lembar irisan lobak Kabura, menyusunnya di dalam tong kayu berisi nasi yang sudah ditanak bercampur ragi, dan membiarkannya agar terfermentasi selama beberapa hari. Kaburazushi dimakan dengan tidak mencuci nasi hasil fermentasi yang menempel.

Inarizushi

Nasi sushi dibungkus Aburage yang sebelumnya sudah dimasak bersama kecap asin dan gula. Inarizushi tidak berisi ikan atau lauk lain karena Aburage sudah merupakan sumber protein. Inarizushi berasal dari kuil Toyokawa Inari di kota Toyokawa, prefektur Aichi.

Variasi sushi

Sushi daerah Kansai

Pada umumnya sushi di daerah ini tidak mementingkan kesegaran ikan tapi pada perpaduan rasa antara nasi dan lauk sehingga rasa tidak mudah berubah kalau dibeli untuk dibawa pulang. Hakozushi (nama lain untuk Oshizushi), Barazushi (Gomokuzushi) dan berbagai macam Makizushi dan Battera (sushi ikan kembung) merupakan beberapa contoh sushi khas Osaka.

Sushi dibungkus daun

Sushi ikan kembung yang dibungkus daun pohon persimon dari Nara dan Wakayama merupakan jenis sushi yang tahan lama.

Sejarah

Konon kebiasaan mengawetkan ikan dengan menggunakan beras dan cuka berasal dari daerah pegunungan di Asia Tenggara, sedangkan sushi seperti Nigirizushi yang dikenal sekarang ini baru dikenal di Jepang pada zaman Edo.

Sebelum zaman Edo, sebagian besar sushi yang dikenal di Jepang adalah jenis Oshizushi (sushi yang dipres). Orang Jepang zaman dulu mungkin kuat makan sehingga sushi selalu dihidangkan dalam porsi besar. Sushi sebanyak 1 kan (1 porsi) setara dengan 9 kan (9 porsi) sushi zaman sekarang, atau kira-kira sama dengan 18 kepal sushi (360 gram). Satu porsi sushi zaman dulu yang disebut Ikkanzushi mempunyai neta yang terdiri dari 9 jenis makanan laut atau lebih.

Pada zaman Edo periode akhir, di Jepang mulai dikenal cikal bakal Nigirizushi yang ukuran porsinya sudah dikurangi agar sushi lebih mudah dinikmati. Seorang ahli sushi bernama Hanaya Yohei menciptakan sushi jenis baru yang merupakan cikal bakal Edomaezushi, tapi kabarnya sushi yang diciptakan masih berukuran besar mirip Onigiri. Pada masa itu, teknik pendinginan masih belum maju sehingga ikan yang didapat dari laut sekitar Jepang harus diolah dulu agar tidak rusak sebelum dijadikan sushi.

Sampai tahun 1970-an sushi masih merupakan makanan mewah di Jepang. Pada umumnya rakyat biasa hanya menikmati sushi untuk merayakan acara-acara khusus, itu pun hanya sushi pesan-antar. Di dalam komik Jepang zaman itu sering digambarkan pekerja kantor yang pulang tengah malam ke rumah dalam keadaan mabuk membawa oleh-oleh sushi untuk menyogok istri yang menunggu di rumah agar tidak marah.

Walapun restoran model Kaitenzushi yang pertama dibuka pada tahun 1958 di Osaka, penyebarannya ke daerah-daerah lain di Jepang memakan waktu lama. Makan sushi sebagai acara yang bisa dinikmati seluruh anggota keluarga akhirnya terwujud di tahun 1980-an seiring dengan makin meluasnya Kaitenzushi di seluruh Jepang. Walaupun demikian, sampai saat ini makan sushi di restoran sushi tradisional tetap merupakan barang mewah di Jepang.

Keberhasilan Kaitenzushi mendorong perusahaan makanan untuk memperkenalkan berbagai macam bumbu sushi instan yang memudahkan ibu rumah tangga membuat sushi di rumah. Chirashizushi atau Temakizushi dapat dibuat dengan bumbu instan ditambah nasi, makanan laut, Tamagoyaki dan Nori.

Penjual sushi

Di Jepang

Dalam bahasa Jepang, Sushi-ya adalah sebutan untuk penjual sushi tradisional yang menyiapkan sushi untuk makan di tempat dan juga sering melayani pesan-antar. Restoran sushi dengan piring-piring berisi sushi yang diletakkan di atas ban berjalan disebut Kaitenzushi.

Di Jepang, berjenis-jenis sushi dalam kemasan bisa dijumpai di pojok makanan matang toko swalayan dan toko serba ada. Selain itu, penjual ikan segar juga sering menjual sushi dalam kemasan.

Jaringan toko yang menjual sushi dalam kemasan untuk dibawa pulang ke rumah bisa dijumpai di seluruh Jepang.

Sushi kelas ibu rumah tangga yang sering dibuat di rumah-rumah adalah jenis Makizushi dan Chirashizushi.

Di Indonesia

Di beberapa toko swalayan terkemuka di Jakarta, sushi dalam kemasan untuk dibawa pulang sering dijumpai di dekat bagian ikan segar.

Di restoran yang menyediakan menu makanan Jepang, sushi sering dimasukkan ke dalam menu bersama-sama dengan masakan Jepang lainnya.

Pertimbangan Higienis

Secara tradisional, sushi merupakan makanan dari nasi dan makanan laut mentah yang mudah busuk dan dibentuk di atas telapak tangan dengan jari-jari manusia tanpa sarung tangan, sehingga menempelnya berbagai macam mikroba pada sushi sulit untuk dihindarkan. Sushi yang dibeli untuk dibawa pulang di musim panas atau di negara beriklim tropis sebaiknya segera cepat-cepat dimakan agar tidak menyebabkan sakit perut.

Di beberapa negara seperti Amerika Serikat, memegang-megang makanan dengan tangan telanjang dianggap tidak higienis sehingga pembuat sushi diharuskan memakai sarung tangan dari karet atau plastik. Sebaliknya, orang Jepang justru kehilangan selera jika melihat sushi yang dibuat menggunakan sarung tangan, padahal sushi yang dijual di toko-toko swalayan di Jepang umumnya dibuat dengan memakai sarung tangan.

Sumber : Wikipedia


8.26.2008

Kimono

Kimono (bahasa Jepang: 着物 secara harafiah: "sesuatu yang dikenakan seseorang," atau "pakaian") adalah pakaian nasional Jepang. Bagi orang Jepang, kimono lebih dikenal dengan sebutan Wafuku (bahasa Jepang: 和服 secara harafiah: "pakaian Jepang") atau Gofuku (bahasa Jepang: 呉服 secara harafiah: "pakaian dari zaman Go di Tiongkok") untuk membedakannya dengan pakaian barat (Yofuku). Kimono yang dikenal sekarang ini berbentuk seperti huruf "T," berupa mantel berkerah yang panjangnya sampai ke pergelangan kaki. Kimono untuk pria terdiri dari setelan atas-bawah, sedangkan kimono untuk wanita berbentuk baju terusan.


Cara memakai kimono dalam bahasa Jepangnya disebut Kitsuke. Peraturan dalam memakai kimono sangatlah terinci, mulai dari jenis-jenis kimono yang sesuai dengan acaranya, hingga aksesori yang sesuai dengan jenis kimono tertentu. Belajar mengenakan kimono juga bukan hal yang mudah, sehingga di Jepang banyak terdapat tempat kursus untuk belajar pakai kimono. Di toko-toko juga banyak dijual alat-alat bantu yang memudahkan orang memakai kimono. Walaupun sebetulnya kimono dapat dikenakan sendiri tanpa bantuan orang lain, kebanyakan wanita Jepang masih harus dibantu orang yang profesional

Bahan kain untuk kimono merupakan seni tenun tradisional Jepang yang bernilai seni tinggi. Kimono untuk kesempatan formal dibuat hanya dari bahan kain sutera kelas terbaik dan hanya dijahit dengan tangan (tidak menggunakan mesin jahit), sehingga harganya menjadi sangat mahal. Kimono juga tidak pernah dijual dalam keadaan sudah jadi, melainkan harus dipesan sesuai dengan ukuran badan pemakainya.

Bahan kain untuk kimono haruslah kain yang ditenun dengan sempurna tanpa cacat dan harus dibeli dalam satu gulungan kain dengan tidak memperhitungkan tinggi badan si pembeli. Membeli kimono dimulai dengan memilih bahan kain untuk kimono yang disebut Tanmono (bahasa Jepang: 反物, secara harafiah: "gulungan kain yang panjangnya 1 Tan"). Jika kebetulan si pemakai kimono bertubuh pendek dan ramping, setelah kimono selesai dijahit nantinya akan banyak bahan kimono yang tersisa. Sisa-sisa bahan kimono bisa dimanfaatkan oleh si pemakai kimono untuk membuat aksesori sewaktu memakai kimono, seperti tas, dompet, atau sandal.

Kimono dapat dibeli dengan harga lebih murah pada kesempatan obral bahan kain kimono kelas dua yang disebut B-Tan Ichi (bahasa Jepang: B反市 secara harafiah: "Pasar kain kelas B") untuk membandingkannya dengan bahan kimono "kelas A" yang tenunannya sempurna tanpa cacat. Walaupun bahan kain yang dibeli mempunyai sedikit cacat, penjahit kimono yang berpengalaman dapat menyembunyikan bagian tenunan yang rusak, sehingga hasil jadinya terlihat hampir sama dengan kimono dari bahan sempurna.

Belakangan ini, di toko-toko banyak dijual kimono impor jenis Yukata yang merupakan hasil jahitan mesin di pabrik. Orang-orang Jepang banyak mengenakan Yukata produk impor yang harganya murah untuk kesempatan santai seperti menyaksikan pesta kembang api.

Ukuran kimono dapat disesuaikan dengan ukuran badan si pemilik, sehingga sering kimono yang dijahit dari bahan kain berkualitas dijadikan barang warisan keluarga. Kimono bekas pakai juga masih mempunyai nilai jual tinggi. Di Jepang bisa dijumpai toko-toko yang menjual kimono bekas pakai. Pada Perang Dunia II, sewaktu penduduk kota kekurangan pangan, kimono pernah digunakan sebagai alat bayar untuk membeli bahan makanan dan bumbu dapur seperti beras, telur, miso, dan gula.

Peran Kimono dalam Kebudayaan Jepang

Mengingat cara mengenakan kimono yang rumit dan harga kain tradisional untuk kimono yang mahal, kimono hanya dikenakan orang-orang Jepang zaman sekarang, baik pria maupun wanita, serta anak-anak sewaktu menghadiri acara-acara istimewa seperti hari-hari besar setempat atau mengikuti kegiatan seni dan olah raga yang bersifat tradisional.

Wanita yang sudah genap berusia 20 tahun tidak akan mau melewatkan kesempatan memakai kimono Furisode yang paling indah untuk menghadiri upacara Seijin Shiki. Begitu pula orang tua dan kakek-nenek merasa berkewajiban untuk mendandani anak-anaknya memakai kimono pada perayaan anak-anak yang berusia 7, 5 dan 3 tahun yang disebut Hichi-go-san. Selain itu, kimono banyak dikenakan oleh orang-orang yang bergerak dalam bidang industri jasa dan pariwisata, seperti pelayan wanita di restoran khas Jepang (ryotei) dan pegawai penginapan khas Jepang (ryokan).

Sejarah

Zaman Jomon dan Zaman Yayoi

Pada zaman ini kimono berbentuk baju terusan. Dari penggalian arkeologis tumpukan kulit kerang peninggalan zaman Jomon ditemukan Haniwa (barang-barang kecil dari tembikar yang dikubur untuk menemani perjalanan arwah ke alam lain) yang mengenakan pakaian atas yang disebut Kantoi (貫頭衣).

Menurut Gishiwajinden (buku sejarah yang ditulis orang Tiongkok mengenai tiga negara), pakaian untuk laki-laki adalah sangatlah sederhana, sehelai kain yang diselempangkan secara horizontal pada badan seperti pakaian pendeta Buddha, dan sehelai kain yang dililitkan di kepala. Pakaian wanita disebut Kantoi yang berupa sehelai kain yang ditengah-tengahnya dibuat lubang untuk memasukkan kepala dan tali yang digunakan sebagai pengikat di bagian pinggang.

Masih menurut catatan Gishiwajinden, kaisar wanita bernama Himiko dari Yamataikoku (sebutan untuk Jepang zaman dulu) "selalu mengenakan pakaian Kantoi berwarna putih." Pakaian rakyat biasa dari serat rami sedangkan orang yang berkedudukan mengenakan kain sutera.

Zaman Makam Kuno

Pakaian pada zaman ini mendapat pengaruh dari daratan Tiongkok, yakni terdiri dari dua potong pakaian: atas dan bawah. Haniwa mulai mengenakan baju atas seperti mantel yang dipakai di atas Kantoi, dan rok yang dililitkan di pinggang sebagai bawahannya. Haniwa yang ditemukan juga ada yang mengenakan celana berpipa lebar seperti Hakama sebagai bawahannya.

Jahitan mulai dikenal pada zaman ini. Agar Kantoi lebih mudah dipakai, di bagian depan dibuatkan bukaan dan lengan baju bagian bawah mulai dijahit. Baju atas kemudian dibagi menjadi dua jenis kerah, yaitu:

  • baju atas berkerah datar sampai persis di bawah leher (Agekubi)
  • baju atas dengan kerah berbentuk huruf "V" (Tarekubi) yang dipertemukan di bagian dada.

Zaman Nara

Aristokrat zaman Asuka yang bernama Pangeran Shotoku menetapkan dua belas strata jabatan dalam istana kaisar (Kan-i Junikai) yang dibeda-bedakan menurut warna hiasan penutup kepala (Kanmuri). Di dalam kitab hukum yang disebut Taiho ritsuryo, juga tercantum peraturan mengenai busana misalnya jenis-jenis pakaian resmi, pakaian pegawai istana, dan pakaian seragam yang dikenakan di dalam istana kaisar.

Pakaian formal untuk pejabat sipil (Bunkan) dijahit di bagian bawah ketiak, sedangkan pakaian formal untuk pejabat militer (Bukan) tidak dijahit di bagian bawah ketiak agar bebas dalam bergerak.

Menurut beberapa politikus legendaris yang salah satunya bernama Ononoimoko yang pernah menjabat sebagai Kenzui-shi (utusan Jepang untuk Dinasti Sui), busana dan aksesori pada zaman ini banyak dipengaruhi budaya Tiongkok yang mengalir masuk ke Jepang.

Sejak tahun 719, cara memakai kimono untuk pria maupun wanita mengalami perubahan. Bila dilihat dari depan, kerah bagian kanan harus dipertemukan di atas kerah bagian kiri. Cara ini merupakan kebalikan dari cara sebelumnya, yakni kerah bagian kiri harus di atas kerah bagian kanan.

Kuatnya pengaruh budaya Dinasti Tang juga membuat populer baju berlengan sempit yang disebut Kosode yang dikenakan sebagai pakaian dalam.

Zaman Heian

Menurut aristokrat bernama Sugawara Michizane, penghapusan Kentoshi (utusan Jepang untuk Dinasti Tang) memicu pertumbuhan budaya lokal yang ditandai dengan ketetapan resmi tata cara berbusana dan standarisasi protokol untuk upacara-upacara formal. Sayangnya hal ini berakibat pada semakin rumitnya gaya pakaian zaman Heian. Wanita pada zaman Heian mengenakan pakaian berlapis-lapis yang disebut Junihitoe. Menurut catatan, pakaian formal untuk pejabat militer (Bukan) juga kehilangan sifat kepraktisannya.

Pada zaman itu, pejabat pria mempunyai tiga jenis pakaian, yaitu:

  • pakaian upacara resmi berupa setelan lengkap yang disebut Sokutai
  • pakaian untuk tugas resmi sehari-hari (Ikan) yang dibuat sedikit lebih ringan dari Sokutai
  • pakaian untuk kesempatan pribadi disebut Noshi yang sepintas lalu terlihat mirip dengan pakaian jenis Ikan.

Rakyat biasa mengenakan pakaian yang disebut Suikan atau Kariginu (bahasa Jepang: 狩衣 scara harafiah: "baju berburu"). Di kemudian hari, kaum aristokrat menjadikan Kariginu sebagai pakaian sehari-hari. Kaum samurai (Bushi) juga kemudian menggemari Kariginu.

Kaum samurai mengambil alih kekuasaan dan menjadikan bangsawan istana terasing dari dunia politik. Pakaian yang merupakan simbol status bagi bangsawan istana beralih menjadi simbol status kamu samurai.

Zaman Kamakura dan Zaman Muromachi

Kekuasaan pemerintahan beralih ke tangan para samurai di zaman Sengoku. Prajurit samurai mengenakan pakaian bernama Suikan, yang perlahan-lahan berubah menjadi pakaian yang disebut Hitatare yang kemudian pada zaman Muromachi dijadikan pakaian resmi kaum samurai.

Pada zaman ini muncul kimono yang disebut Suo (素襖) yang berciri khas lambang keluarga dalam ukuran besar (Daimon) di 8 tempat. Suo adalah sejenis Hitatare yang tidak menggunakan kain pelapis di dalam.

Penyederhaan pakaian kaum samurai terus berlanjut. Di zaman Edo, pakaian kaum samurai disederhanakan menjadi setelan yang sampai saat ini terkenal dengan sebutan Kamishimo(裃), yang terdiri dari baju atas yang disebut Kataginu (肩衣) dan celana Hakama.

Pakaian wanita pada zaman ini juga menjadi lebih sederhana. Rok bawah yang disebut Mo (裳) berubah menjadi celana Hakama, sebelum akhirnya menghilang sama sekali dan digantikan oleh kimono model terusan. Sewaktu memakai Kosode (pakaian dalam), kain yang disebut Koshimaki dan Yumaki digunakan sebagai kain penutup pinggang. Kosode yang lebih panjang dipakai untuk melapisi Kosode yang berfungsi sebagai pakaian dalam, dengan maksud agar Kosode yang dikenakan sebagai pakaian dalam terlihat dari luar.

Zaman Edo Periode Awal

Sebagai pakaian yang merupakan simbol budaya orang kota yang mengikuti tren, Kosode menjadi semakin populer di kalangan masyarakat.

Zaman Edo adalah zaman keemasan panggung-panggung sandiwara seperti Kabuki. Penemuan cara penggandaan lukisan berwarna-warni yang disebut Nishikie atau Ukiyoe mendorong semakin banyaknya orang yang bisa melihat gambar-gambar pemeran Kabuki dengan pakaian kimono yang gemerlap. Pakaian orang kota cenderung menjadi semakin mewah untuk meniru pakaian yang dikenakan pemain Kabuki.

Untuk mengatasi kecenderungan orang kota yang berpakaian semakin bagus dan menjauhi norma-norma Konfusianisme, pemerintah Bakufu secara bertahap memaksakan Kenyakurei, yakni norma kehidupan sederhana yang pantas. Pemaksaan ini gagal karena keinginan rakyat untuk berpakaian bagus tidak bisa dibendung. Tradisi upacara minum teh (Chanoyu) yang telah berurat berakar juga menjadi sebab kegagalan Kenyakurei. Upacara minum teh yang dihadiri dengan memakai kimono yang sedapat mungkin harus tampak sederhana ternyata sebetulnya berharga mahal.

Pada masa ini mulai dikenal tali pinggang yang disebut Kumihimo dan gaya mengikat Obi di punggung yang bertahan hingga zaman sekarang.

Zaman Edo Periode Lanjut

Politik isolasi (Sakoku) membuat terhentinya impor benang sutera. Industri benang sutera dalam negeri pun tumbuh pesat pada periode ini. Setelah berhasil mengendalikan produksi benang sutera, pemerintah Bakufu kembali berusaha kembali memaksakan cara berpakaian dan gaya potongan rambut yang sesuai dengan kelas-kelas di dalam masyarakat. Kali ini pemerintah Bakufu berhasil memaksakan keinginannya. Bahan pakaian orang kota tidak lagi dibuat dari kain sutera yang dikontrol oleh pemerintah, melainkan dari kain katun atau kain serat rami. Hal ini ternyata menumbuhkan kreativitas masyarakat agar kimono yang dibuat dari kain katun atau serat rami terlihat bagus dipakai.

Pakaian wanita yang disebut Tamoto (袂) menjadi populer di kalangan rakyat banyak. Tamoto merupakan bentuk awal dari kimono jenis Furisode yang dipakai sebagai baju pengantin wanita.

Zaman Meiji dan Zaman Taisho

Pada zaman Meiji, orang-orang dari golongan bangsawan istana berlomba mengganti kimono dengan pakaian ala Barat supaya tidak dianggap kuno. Walaupun demikian, orang-orang kota yang ingin melestarikan tradisi estetika keindahan secara turun temurun tidak menjadi terpengaruh. Orang-orang kota tetap berusaha mempertahankan kimono dan tradisi asli yang dipelihara sejak zaman Edo.

Setelah peraturan pemakaian benang sutera dinyatakan tidak berlaku lagi, kimono untuk wanita mulai dibuat dari berbagai macam jenis kain. Pada saat yang bersamaan, industri pemintalan benang sutera didirikan di banyak tempat di Jepang. Sesuai pesatnya perkembangan industri pemintalan, berkembang pula industri tekstil yang menggunakan benang sutera. Produk industri tekstil pada zaman ini adalah berjenis-jenis kain sutera seperti silk crepe, rinzu, omeshi, dan meisen.

Teknik pencelupan kain juga berkembang dengan cepat seiring dengan tersedianya berjenis-jenis kain yang dapat diproses. Pada zaman ini mulai dikenal teknik yang disebut Yuzen (友禅), yakni menggambar dengan kuas untuk menghasilkan motif (biasanya berbentuk bunga-bunga) di atas kain kimono.

Kain sutera dengan motif garis-garis dan susunan gambar yang sangat rumit dan halus yang sudah populer sejak zaman Edo ternyata masih populer di antara kalangan atas sebagai pakaian terbagus yang cuma dipakai pada kesempatan istimewa. Pada saat yang sama, kain sutera hasil tenunan benang berwarna-warni hasil pencelupan juga disukai banyak orang.

Tidak lama setelah pakaian impor dari Barat mulai mengalir ke Jepang, penjahit-penjahit lokal mulai bisa membuat pakaian ala Barat. Sejak saat itu, istilah Wafuku mulai dipakai untuk membedakan pakaian yang selama ini dipakai orang Jepang dengan pakaian dari Barat. Pada masa-masa awal orang Jepang mulai mengenakan pakaian ala Barat, orang-orang kalangan atas mengenakan pakaian ala Barat yang dipinjam dari toko-toko yang menyewakan pakaian ala Barat.

Di zaman Meiji, sebagian besar orang laki-laki masih memakai kimono untuk pakaian sehari-hari. Pakaian ala Barat berupa setelan jas menjadi populer sebagai pakaian formal pria untuk keluar rumah.

Seragam militer dikenakan oleh laki-laki yang mengikuti dinas militer, sedangkan model seragam sekolah anak laki-laki ditiru dari model seragam tentara angkatan darat. Seragam anak sekolah juga menggunakan model kerah berdiri yang mengelilingi leher dan tidak jatuh ke pundak (stand-up collar) persis model kerah seragam tentara.

Wanita Jepang pada zaman Meiji semuanya masih mengenakan kimono, kecuali wanita bangsawan dan guru wanita yang bertugas mengajar anak-anak perempuan.

Pada zaman Taisho periode lanjut, seiring dengan kebijakan pemerintah yang memiliterisasi seluruh negeri, seragam anak sekolah perempuan yang selama ini berupa Andon Hakama (kimono dengan celana Hakama) diganti dengan pakaian ala barat yang disebut Serafuku, yakni setelan rok dan baju blus yang mirip yang sering dipakai oleh pelaut.

Zaman Showa

Di zaman perang, pemerintah membagi-bagikan pakaian seragam untuk penduduk laki-laki. Pakaian seragam untuk laki-laki disebut Kokumin fuku, sedangkan pemerintah memaksa para wanita untuk memakai Monpei (celana panjang untuk kerja yang berkaret di bagian pergelangan kaki).

Wanita Jepang hampir tidak mempunyai kesempatan untuk memakai kimono sewaktu zaman perang. Walapun begitu, sebenarnya Monpei bisa dikatakan merupakan salah satu jenis dari Hakama, semacam celana yang dikenakan bersama kimono.

Perang Dunia II berakhir dengan kekalahan Jepang. Wanita Jepang merasa lega karena perang sudah berakhir dan kembali terpikat pada keindahan kimono. Tapi zaman cepat berganti, kimono tidak mungkin menandingi kepopuleran pakaian ala Barat yang praktis untuk dipakai sehari-hari, sehingga jumlah orang Jepang yang memakai kimono menjadi berkurang sedikit demi sedikit.

Walaupun demikian, sampai sekitar tahun 1965 masih terlihat banyak sekali wanita Jepang yang memakai kimono sebagai pakaian sehari-hari. Pada saat itu kepopuleran kimono menjadi terangkat kembali dengan diperkenalkannya kimono indah berwarna-warni dari bahan wol. Kimono dari bahan wol disukai wanita Jepang zaman itu sebagai pakaian untuk kesempatan santai.

Pedagang kimono risau dengan kejatuhan popularitas kimono dari kain sutera yang dianggap tidak praktis untuk pakaian sehari-hari. Demi kelangsungan bisnis, pedagang kimono mencari berbagai macam cara untuk meningkatkan jumlah penjualan barang. Salah satu caranya adalah dengan memasyarakatkan "peraturan mengenakan kimono" yang disebut Yakusoku. Peraturan yang sengaja dibuat-buat untuk mendikte pembeli bahwa kimono jenis tertentu hanya cocok dengan aksesori tertentu ternyata tidak mengena di hati konsumen. Walaupun pedagang sudah melakukan promosi kimono secara besar-besaran, di dalam masyarakat Jepang telanjur terbentuk opini bahwa "memakai kimono itu ruwet." Orang Jepang pun semakin menjauh dari kimono. Akibatnya, industri tekstil yang menghasilkan bahan kain untuk kimono (Tanmono) satu per satu menjadi bangkrut.

Sekarang sudah tidak bisa ditemui lagi laki-laki yang memakai kimono sebagai pakaian sehari-hari di rumah, padahal sampai tahun 1960-an masih banyak terlihat pemandangan laki-laki berkimono di rumah (bahkan masih bisa dilihat pada gambar-gambar Manga terbitan tahun 1970-an).

Saat ini tidak begitu banyak lagi laki-laki Jepang yang memakai kimono, kecuali Samue (作務衣) yang dipakai sebagai baju kerja.

Kimono Wanita

Kimono untuk wanita terdiri dari berbagai jenis yang semuanya sarat dengan simbolisme dan isyarat-isyarat terselubung. Pilihan jenis kimono tertentu bisa menunjukkan umur si pemakai, status perkawinan (masih lajang atau sudah menikah), dan tingkat formalitas dari acara yang dihadiri.

Jenis-jenis kimono wanita disusun menurut tingkatan formalitas, mulai dari kimono yang paling formal hingga kimono santai:

Tomesode adalah jenis kimono yang paling formal, umumnya berwarna hitam dan hanya dikenakan oleh wanita yang sudah menikah. Tomesode yang berwarna hitam disebut Kurotomesode. Pada kimono jenis Tomesode terdapat lambang keluarga (kamon) si pemakai. Lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada) seusai dengan tingkat formalitas kimono. Ciri khas Tomesode adalah motif yang indah pada suso (bagian bawah sekitar kaki). Tomesode dikenakan untuk menghadiri resepsi pernikahan, pesta atau acara-acara yang sangat resmi.

Furisode adalah kimono formal untuk wanita muda yang belum menikah. Ciri khas Furisode pada bagian lengan yang sangat lebar dan menjuntai ke bawah. Bahan berwarna-warni cerah dengan motif mencolok di seluruh bagian. Furisode dikenakan pada waktu menghadiri upacara "Seijin Shiki" (hari menjadi dewasa), menghadiri resepsi pernikahan teman, upacara wisuda atau kunjungan ke kuil Shinto di hari-hari awal Tahun Baru (Hatsumode).

Homongi (bahasa Jepang: 訪問着, secara harafiah: baju untuk berkunjung) adalah kimono formal untuk wanita yang sudah menikah atau wanita dewasa yang belum menikah. Homongi dikenakan wanita yang sudah menikah untuk menghadiri resepsi pernikahan, pesta-pesta resmi, Tahun Baru, atau upacara minum teh.

Iromuji kimono semiformal yang bisa dijadikan kimono formal jika mempunyai lambang keluarga (kamon). Lambang keluarga bisa terdapat 1, 3, atau 5 tempat (bagian punggung, bagian lengan, dan bagian dada) seusai dengan tingkat formalitas kimono. Bahan umumnya tidak bermotif dan berwarna merah jambu, biru muda, kuning muda atau warna-warna lembut lainnya. Iromuji dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan atau upacara minum teh.

Tsukesage adalah kimono semi formal untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Menurut tingkatan formalitasnya, Tsukesage hanya setingkat dibawah Homongi. Tsukesage biasa dikenakan untuk menghadiri pesta pernikahan, pesta resmi, Tahun Baru, atau upacara minum teh yang sifatnya tidak begitu resmi.

Komon adalah kimono santai untuk wanita yang sudah atau belum menikah. Ciri khas pada motif sederhana yang kecil-kecil yang berulang. Komon bisa dikenakan untuk menghadiri pesta alumni, makan malam, bertemu dengan teman-teman, atau menonton pertunjukan di gedung.

Tsumugi adalah kimono santai untuk dikenakan sehari-hari di rumah oleh wanita yang sudah atau belum menikah, walaupun boleh juga dikenakan untuk keluar rumah seperti berbelanja dan jalan-jalan. Ciri khas Tsumugi pada bahan yang merupakan bahan tenunan sederhana dari katun atau benang sutera kelas rendah yang tebal dan kasar sehingga kimono jenis ini tahan lama. Pada zaman dulu, Tsumugi digunakan untuk bekerja di ladang.

Yukata adalah jenis kimono santai yang dibuat dari bahan kain katun tipis tanpa pelapis yang dipakai untuk kesempatan santai di musim panas.

Pakaian Pengantin Wanita

Pakaian pengantin wanita tradisional Jepang (Hanayome Isho) terdiri dari Furisode dan Uchikake (sejenis mantel yang dikenakan di atas Furisode). Hanayome Isho dikenakan pengantin wanita pada saat upacara dan resepsi pernikahan.

Furisode khusus pengantin yang merupakan bagian dari Hanayome Isho berbeda dengan Furisode yang dikenakan wanita muda yang belum menikah. Furisode khusus pengantin mempunyai motif-motif yang dianggap dapat mengundang keberuntungan seperti burung Jenjang (burung Tsuru), dan berwarna lebih cerah dibandingkan dengan Furisode biasa.

Shiromuku adalah pakaian pengantin wanita tradisional Jepang yang berupa Furisode yang berwarna putih bersih dan tidak bermotif.

Kimono Pria

Kimono pria jauh lebih sederhana dibandingkan dengan kimono wanita. Kimono pria didominasi warna-warna gelap seperti hijau tua, coklat tua, biru tua, dan hitam.

  • Setelan Montsuki dengan Hakama dan Haori.

Kimono pria yang paling formal disebut Montsuki yang di bagian punggungnya terdapat lambang keluarga (Kamon) si pemakai. Bawahan yang digunakan untuk Montsuki adalah celana panjang Hakama, sedangkan mantelnya disebut Haori.

Montsuki yang dipakai lengkap dengan Hakama dan Haori juga berfungsi sebagai pakaian pengantin pria. Selain sebagai pakaian pengantin pria, Montsuki lengkap dengan Hakama dan Haori hanya dikenakan pada waktu menghadiri upacara yang sangat resmi, seperti resepsi pemberian penghargaan dari Kaisar/pemerintah.

  • Ki Nagashi

Ki Nagashi adalah kimono santai untuk dipakai sehari-hari yang dikenakan pria untuk keluar rumah pada kesempatan tidak resmi. Bahannya bisa terbuat dari katun atau bahan campuran. Ki Nagashi banyak dikenakan pemeran Kabuki pada saat latihan atau guru tari tradisional Jepang pada saat mengajar.

Aksesori dan Pakaian Pelengkap untuk Kimono

Hakama adalah semacam celana panjang yang dikenakan pria yang juga terbuat dari bahan berwarna gelap. Hakama berasal dari daratan Tiongkok dan mulai dikenal sejak zaman Asuka. Hakama umumnya dikenakan pendeta kuil Shinto . Di kalangan olah raga tradisional Jepang seperti Kendo dan Kyudo, Hakama dikenakan baik oleh laki-laki maupun perempuan.

Geta adalah sandal dari kayu yang dilengkapi dengan hak. Geta berhak tinggi dan tebal yang dipakai oleh Maiko disebut Pokkuri

Junihitoe adalah kimono 12 lapis yang dipakai oleh wanita Jepang zaman dulu di istana kaisar.

Kanzashi adalah hiasan rambut seperti tusuk konde yang disisipkan ke rambut sewaktu memakai kimono.

Obi adalah sabuk dari kain yang seperti stagen yang dililitkan ke badan pemakai untuk mengencangkan kimono

Tabi adalah kaus kaki sepanjang betis yang dibelah dua pada bagian jari kaki untuk memisahkan jempol kaki dengan jari-jari kaki yang lain. Tabi dipakai sewaktu memakai sandal, walaupun ada Tabi dari kain keras yang dapat dipakai begitu saja seperti sepatu bot.

Waraji adalah sandal dari anyaman tali jerami.

Zori adalah sandal tradisional Jepang yang bisa terbuat dari kain atau anyaman sejenis rumput (Igusa).